Monday, January 19, 2009

Pelajaran dari Blimbing Wuluh


Hari ini, Senin, 19 Januari 2009. Aku terbangun jam 05:20 dengan perasaan yang biasa saja. Setelah baca Mazmur 56-80 perasaanku tetap biasa saja. Gerimis terus menerus dan sesekali hujan deras,,hmm,.,sangat menyenangkan untuk meringkuk lagi di bawah bedcover strawberry. Tapi tiba2 a friend of mine-Rizal sms, mau mengembalikan buku Manajemen Pajak dan jaket. Well, finally I woke up.
He came and we got breakfast Nasi Kuning plus ayam bakar bumbu pedas di dekat Citroulli.
Then, we went to the traditional market-Pasar Demangan.

Rencananya, aku mau beli belimbing wuluh. Jika 1 sdm air blimbing wuluh ditambah sedikit garam, niscaya dapat melunturkan lemak2 di perut (dan sedikit mengkikis lambung tentunya:)) Menurut pengalaman, cara ini lebih efektif jika dibandingkan dengan membeli milkshake 300rb perkaleng yang hanya bisa dikonsumsi 2 minggu dan suplemen ratusan ribu untuk menurunkan berat badan. Tentu saja, kita tidak perlu menahan lapar, berpantang nyemil dan menghindari makanan berkarbohidrat.

Sesampainya di parkiran, aku menerima karcis parkir bernominal 1000 rupiah. A reasonable nominal I think, considering on that market is a public place with retribution determined by Pemda. Lalu kami masuk ke lorong-lorong gelap dan berbau sedikit anyir. Sesekali kami melihat sampah di tepi lorong dengan lalat-lalat berkerumun di atasnya.
"Taruhan deh, zal. Cuman kita yang berstatus mahasiswa yang datang kesini" ucapku tiba-tiba setelah melayangkan pandang ke seluruh sudut pasar. Memang benar, tidak ada manusia yang seumuran kami di tempat itu. Mahasiswa rata-rata tempat belanjanya di hypermarket, supermarket, minimarket, atau minimal toko2 setaraf Circle-K dan IndoMaret lah.
"Bu, wonten blimbing wuluh?" tanyaku kepada salah satu penjual.
"Teng mriki mboten wonten e. Cobi pojok kidul, panggenane sayur sayur"
Aq dan rizal semakin masuk ke dalam pasar. Setelah menyusuri beberapa menit, tibalah kami di kios sayur dengan seorang nenek sebagai penjualnya. Tubuhnya kecil dibalut kebaya hitam kembang-kembang, kulitnya keriput, kondenya berantakan.
"Mbah, wonten blimbing wuluh?"
"Wah, gari iki e, nok." penjual itu sambil mencari2 blimbing wuluh di tumpukan tomat dan cabe. "Nek sesuk, piye?"
"Butuhipun sakniki e, mbah" jawabku dengan bahasa Jawa gagu.
"Ana ne iki. Nek butuh e sesuk, takgopekke. Lha ini ya saka wit pekarangan." penjual itu akhirnya menemukan beberapa blimbing wuluh yang sudah agak layu dan menaruhnya di kertas pembungkus. "Wis, iki limang atus wae, nok"
Rizal mengeluarkan 500 rupiah dari kantongnya dan memberikannya kepada penjual itu.
Biaya parkir dan bensin untuk kesini saja lebih besar daripada harga blimbing wuluh itu sendiri, pikirku. 500 rupiah wae digoleki.
Bayangkan, betapa susahnya ia harus bangun pagi dan menyiapkan barang dagangannya, berapa kilometer harus ia tempuh untuk mencapai pasar itu, dan berapa rupiah laba yang ia dapatkan dari hasil penjualan. Sebandingkah apa yang dia dapatkan dengan apa yang dia korbankan? Logically, tidak sebanding. Betapa susahnya mencari serupiah ternyata.

Melihat diriku sendiri, betapa mudahnya aku meminta uang (sebenarnya enggak juga sih, tapi kalau dibandingkan dengan mbah penjual itu jauuuh lebih mudah), betapa banyaknya expense yang kuhabiskan selama bulan ini (untuk UKD Sadhar dan UPN, untuk Kijang yang bensinnya ngocooor trus kaya unta di padang gurun walaupun harga BBM turun 500 perak lagi, untuk beli ini itu), dan betapa beruntungnya aku.
Kadang kita lupa, betapa payahnya orang tua kita memeras keringat membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kita dan keluarga. Dan kadang kita tidak sadar, kita telah memperlakukan mereka kurang baik, kurang hormat, dan tidak sebagaimana mestinya.

4 comments:

Riang Cewes Tyantoro said...

kisah yang berharga Sa,
berharga saat kita sadar akan hal itu
karena sering tertutup oleh kedirian kita masing2.
coba wae bayangke
yen heng'aut ke Jl. Adisucipto
semalem kui wae entek pira jal.
tapi coba yen diwenehke ke mbah'e kui
mungkin 10 kali panen blimbing, mbah'e kui durung isa nyaur kabeh.
tapi kui crito jaman mbiyen
kudu berubah dari sekarang
wong gak sa'teruse neng awang2
isa gogrog, tiba neng jogang.

apik nok ceritane..
eh Toyota ngeluarke kendaraan anyar ta, jenenge Oenta ya.?
hahahaaa, jas kiding Sa..
have a great wonderful day..

desmon said...

Wah kisah wanita Indonesia yang sesungguhnya. Ia sudah memberi yang terbaik buat keluarganya. Inilah cermin dari wanita Indonesia, tidak melihat hasilnya.
Sebagi mhsw aq pernah berniat dalam diri agar tidak belanja lagi di supermarket dan sejenisnya, tp di warung2 rakyat atau pasar2. Tp bertahnnya hanya beberapa bulan euy:(. Bulan ini kebiasaan "jelek" ku itu muncul lagi. Apalagi 2 minggu terakhir. Sekali makan saja aq bisa menhabiskan $5.00-$10.00.Walaupun ditraktir, tp miris melihat hasil jualan si ibu tua itu.Makasih postingannya, membuat aq terbangun kembali.:)

own said...

sekedar berkenalan coz ga da shoutmix nx ci...

Anonymous said...

wah sungguh bermanfaat.
mampir juga ya